Profil
Nama: Laksmi Pamuntjak
Nick Name: Laksmi
Tanggal lahir: 22 Des 1971
Zodiak: Capricorn
Laksmi mengemas buku panduan ini secara unik. Dia berburu makanan dari restoran kelas atas, sampai warung kaki lima di seputar Jakarta. Semuanya dilakukan secara independen, komprehensif dan deskriptif. Dia tak ingin dikenali si pemilik, dan mencatat temuannya diam-diam agar tak diketahui para pelayan.
Meskipun setiap hari selama berbulan-bulan Laksmi mencicipi makanan di berbagai kedai makan, dia tetap menjaga keseimbangan dengan berolahraga. Bentuk tubuhnya tetap langsing. Padahal petualangan kuliner ini sudah dilakukannya sejak JGFG terbit pada 2001, hingga edisi terbaru pada 2009.
Lantas, apa rahasia agar tubuhnya tetap ramping? Laksmi mengaku menghindari karbohidrat, makanan berlemak seperti daging, goreng-gorengan, dan segala yang mengandung gula ketika bertandang ke restoran atau rumah makan yang dia tulis.
Selain menjaga pola makan, paling tidak dalam tiga kali sepekan dia menyempatkan diri untuk aerobic, atau pergi ke gym. Melalui seorang instruktur dia juga sering berlatih taebo. Baginya taebo itu menyenangkan, karena memadukan aerobik dan tinju.
Menjaga berat badan, kata Laksmi, adalah hal penting buat kesehatan. Menurutnya saat seseorang menginjak usia 30 tahunan, metabolisme tubuhnya akan menurun, dan pembakaran lemak memakan waktu lebih lama sehingga disiplin sangat diperlukan.
Demi menjaga disiplin inilah Laksmi bila bepergian ke luar kota selalu membawa alat olahraga berupa tali. Alat ini berguna membantu mengencangkan bagian tubuh, terutama perut, lengan dan paha. karena bentuk dan ukurannya yang praktis, tali bisa dibawa ke mana saja dia pergi.
Selain urusan kuliner, Laksmi juga penulis yang punya kelas sendiri di jagad kepengarangan Indonesia. Sejak 1994, dia kerap menjadi kolumnis di berbagai media, salah satunya majalah Tempo.
Pengetahuannya luas. Laksmi menulis artikel seputar politik, biografi, film, musik klasik, hingga sastra. Dia juga menerjemahkan kumpulan puisi Goenawan Mohamad, tokoh penyair dan pendiri majalah TEMPO itu, ke bahasa Inggris (Selected Poems, 2004). Buku itu berisi pilihan sajak dari Goenawan Mohamad yang sebelumnya tersebar di kumpulan "Parikesit" (1971), "Interlude" (1973), "Asmaradana" (1992), "Misalkan Kita di Sarajevo" (1998), dan "Sajak-sajak Lengkap 1961-2001" (2001).
Kecintaannya pada dunia intelektual menggerakkan Laksmi menjadi salah satu pendiri toko buku ak.sa.ra. Toko itu menjual buku sastra, seni, kebudayaan dan literatur impor dari penerbit berkualitas dunia.
Laksmi adalah juga penyair yang menuliskan puisinya dalam bahasa Inggris. Koleksi puisinya bertajuk "Ellipsis", pernah diulas oleh majalah The Herald terbitan 2005 sebagai salah satu "Books of the Year". Prestasi ini menempatkan Laksmi sebagai satu dari penulis Indonesia yang karyanya merambah ke manca negara.
Laskmi juga piawai menulis esai. Salah satu buku karyanya adalah "Perang, Langit, dan Dua Perempuan" (War, Heaven, and Two Women) diterbitkan pada 2006. Bersama itu, karya pendeknya "The Diary of R.S.: Musings on Art" diterjemahkan ke bahasa Perancis serta Indonesia. Pada Maret 2007, sekumpulan puisinya kedua dirilis dengan judul "The Anagram".
Pada September 2007 Laksmi kembali karya Goenawan Mohamad yang diterjemahkannya dalam bahasa Inggris. Buku itu berjudul "On God and Other Unfinished Things".
Berkat prestasinya yang mendunia, Laksmi akhirnya sering diundang mengikuti diskusi maupun konferensi seputar sastra di Amsterdam, Florence, Paris, New York, Los Angeles, serta Manila. Beberapa diskusi sastra juga diikutinya di Australia, seperti Byron Bay Literary Festival, dan National Poetry Festival di Victoria. Dia juga ikut ambil bagian dalam "Wordfest Literary Festival" di Calgary dan Banff.
Beberapa karya puisi Laksmi, serta cerita pendeknya pernah muncul di beberapa media internasional seperti "Softblow; Takahe" (New Zealand), "Heat Literary Journal" (Australia), "Asia Literary review" (yang muncul pada terbitan musim gugur 2006, musim semi tahun 2007, serta musim gugur 2007). Puisinya juga dimuat pada antologi "Not a Muse" diterbitkan Haven Books yang berbasis di Hongkong pada 2009.
Laksmi kini sedang menggarap novel baru bertajuk "The Blue Widow". Novel itu mengambil latar di Pulau Buru, Ambon, yang pada masa Orde Baru selama 32 tahun dijadikan kamp tahanan mereka yang dituduh komunis tanpa pengadilan. Sekedar catatan, pada kumpulan puisinya "The Anagram" memuat sekitar delapan puisi dan prosa yang terinspirasi dari peristiwa di Pulau Buru, pada bab "From the Buru Notebook".
Pada April 2009, dia tercatat sebagai salah satu juri di ajang penghargaan internasional "Prince Claus Fund" yang berdiri sejak 1977. Prince Claus Fund adalah penghargaan bagi insan seni dunia yang karyanya mendapat perhatian khusus, maupun bagi sejumlah tempat kultural yang dianggap berjasa mengembangkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar